Senin, 02 Juni 2014

BIAYA PERNIKAHAN DI MATA MASYARAKAT

 Tulisan di muat di: http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/kua-dan-transparansi-biaya-pernikahan/


Kantor Urusan Agama (KUA) adalah satuan unit terdepan dari birokrasi Kementerian Agama yang berada di tingkat Kecamatan, yang sering disebut sebagai ujung tombak Kementerian Agama yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat untuk memberikan pelayanan dan pembinaan khususnya di bidang pernikahan, rujuk dan juga di bidang kegamaan serta ibadah sosial lainnya. Sebagai implementasi dari KMA Nomor 517 tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama, maka KUA memiliki tugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama dibidang urusan Agama Islam di wilayah Kecamatan tertentu.

Dalam pelaksanaannya, keberadaan KUA tidak hanya melakukan pencatatan dan pernikahan, tetapi juga melakukan pembinaan keagamaan di tingkat Kecamatan. Sesuai Keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004 tentang pencatatan nikah, dijelaskan pula bahwa banyak tugas yang harus dilakukan oleh KUA; antara lain pembinaan kepenghuluan, keluarga sakinah, ibadah sosial, produk halal, kemitraan, zakat, wakaf, ibadah haji dan kesejahteraan keluarga. Dengan demikian, KUA juga banyak berperan dalam upaya peningkatan kualitas kehidupan beragama di kalangan masyrakat.

Meski sedemikian luas peran dan fungsi KUA, namun tak pelak di tengah-tengah masyarakat seakan terbentuk stigma bahwa Kantor Urusan Agama (KUA) hanya mengurusi persoalan pernikahan, talak dan rujuk. Stereotipe semakin berkembang, akhirnya KUA dinilai hanya sebagai lembaga untuk melegalkan pernikahan maupun perceraian tanpa tugas pembinaan keagamaan lainnya.

Permasalahan bertambah pelik ketika oleh KPK, KUA disinyalir sebagai salah satu kantung korupsi di bawah kementrian agama. Indeks perilaku korupsi yang ada di Kemenag hanya berkisar pada 5,3 dibawah Kemenakertrans. Sebagai tambahan informasi, KPK menyorot KUA sebagai lembaga yang telah lama melakukan gratifikasi. Hal ini berujung pada ditahannya Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kota Kediri, Romli, oleh Petugas Kejaksaan Negeri (Kejari) Kediri pada Oktober 2013 lalu.

Romli dituduh menggelembungkan biaya nikah dengan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat soal tarif resmi pencatatan nikah. Dia memungut biaya sebesar Rp 225.000 untuk pernikahan di luar kantor dan Rp 175.000 di dalam kantor. Padahal, tarif sebenarnya hanya Rp 30.000.
Lebih jauh, dari nominal tersebut Romli didakwa mendapatkan jatah Rp 50.000 sebagai petugas pencatat nikah plus Rp 10.000 sebagai insentif kepala KUA. Romli diduga menerima gratifikasi senilai Rp 36 juta atas biaya pencatatan nikah di luar ketentuan yang ada dalam kurun waktu satu tahun pada 2012.

Kasus di atas tentu tidak serta merta muncul, namun menggejala secara perlahan di masyarakat dan terakumulasi dengan ketidakpahaman masyarkat terkait biaya pernikahan. Nikah yang dicatatkan di KUA dianggap tidak sesuai dengan tarif resminya dan apabila tarif yang diminta melebihi ketentuan resmi, dianggapnya pegawai KUA menerima gratifikasi (korupsi). Pertanyaanya adalah, bagaimanakah sebenarnya aturan pembiayaan pencataan pernikahan di KUA ini?. Serta berapa besar biaya pernikahan di KUA yang mesti dikeluarkan?.

Artikel ini hendak menjelaskan kepada publik tentang hal ikhwal biaya pernikahan, dengan tujuan menjelaskan biaya pernikahan di KUA dan mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga pernikahan yang lebih dikenal dengan istilah Kantor Urusan Agama (KUA).

Pencatatan Nikah di Masyarakat
Pada dasarnya pencatatan nikah melalui KUA yang diinginkan oleh masyarakat dan berlaku luas di masyarakat muslim Indonesia ada dua macam, yaitu pertama, pencatatan nikah di Balai Nikah atau di KUA, pencatatan ini dilaksankan di KUA atau Balai Nikah pada hari kerja dan pada jam kerja kantor. Pernikahan model pertama ini dilaksanakan pada hari-hari yang bukan hari libur dan pada jam kerja yaitu pukul 07.00 s.d. 15.30 atau 16.00 pada hari Jum’at. Pencatatan nikah di kantor KUA ini tidak menimbulkan over beban kerja, maupun beban transportasi bagi PPN.

Kedua, pencatatan nikah di luar KUA. Dan, model kedua inilah yang sering berlaku di tengah masyarakat yang mempunyai setumpuk kegiatan, terlebih kegiatan dalam rangka persiapan pernikahan. Mereka disibukkan dengan seremoni dan setumpuk agenda acara resepsi pernikahan sehingga tidak sempat melakukan pendaftaran sendiri ke KUA, alih-alih melakukan penyetoran biaya nikah secara pribadi ke bank yang ditunjuk.

Pada model pencatatan nikah yang kedua inilah mulai timbul cost atau biaya tertentu atau biaya tambahan dari jumlah 30 ribu menjadi 2 atau 3 kali lipat. Dan ternyata sebagaian besar masyarakat memilih alternatif ke dua ini, yakni mengandalkan jasa pegawai pencatan pernikahan (PPN). Hal ini ditambah lagi banyak pasangan pengantin yang memilih melaksanakan pernikahan pada hari libur dan bahkan pada malam hari, di luar jam kerja KUA. Sebagai perbandingan, bahwa pencatatan nikah di Kantor dan di luar kantor mencapai kisaran 10 % nikah di KUA dan 90 % nikah diluar KUA .

Solusi Biaya Pernikahan
Terkait fenomena pernikahan di luar kantor urusan agama (KUA) dan keluhan masyarakat akan biaya pernikahan tersebut, Kemenag RI bertindak cepat, yakni dengan tujuan menyelamatkan SDM di bawah KUA dan mengembalikan kepercayaan publik kepada lemabaga KUA secara umum. Hal ini diterangkan melalui penyusunan draft biaya baru pernikahan oleh Bahrul Hayat, “Draftnya sudah jadi, jika tidak ada halangan mungkin satu atau dua bulan lagi sudah disahkan,” kata Sekjen Kemenag, Bahrul Hayat di kantornya Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, lansir Hidayatullah.com Kamis (30/01/2014).

Biaya pencatatan nikah diproyeksikan dengan besaran yang sama untuk wilayah Indonesia, yakni Kemenag menetapkan sebesar Rp 600 ribu per pernikahan. Tarif pencatatan nikah ini akan dibedakan antara yang berlangsung di Kantor Urusan Agama (KUA) dan di luar KUA. Hal ini dilakukan agar pegawai di KUA bersih dari gratifikasi dan Kemenag tidak dicap korupsi. Bahrul menambahkan “Limapuluh ribu untuk di KUA dan enamratus ribu rupiah di luar KUA. Ini dilakukan agar masyarakat tidak bertanya-tanya lagi,”.

Terakhir, terlepas dari peraturan baru tentang pembiayaan pernikahan di atas, mari kita berfikir lebih adil dan arif, sebenarnya tidak ada permasalahan sedikitpun, antara Calon pengantin sebagai masyarakat yang dilayani dengan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang menjadi pelayan. PPN adalah PNS di Kemenag yang diberi tugas melayani masyarakat dalam hal Pencatatan Nikah dan Rujuk, jam kerja PPN pun telah ditentukan oleh Kemenag yaitu sebagaimana telah saya sebut di atas, adapun diluar jam dinas, PPN adalah tenaga ahli dalam bidangnya seperti juga misalnya para profesional yang lain, dokter, bidan, tenaga medis lainnya, dosen, guru dll, mereka adalah juga para profesional yang jam kerjanya diatur oleh peraturan peraturan juklak serta juknis.
Pada dasarnya, masyarakat muslim di indonesia dan pegawai KUA adalah bagian integral misi keislaman di dunia, artinya pegawai KUA dengan prinsip kerja mempermudah (yassiru wala tu’assiru) semestinya diimbangi dengan pemahaman masyarakat pengguna jasa mereka, yakni dengan berterimakasih atas bantuan mereka, disamping karena nikmat pernikahan yang akan segera mereka rasakan (fa’amma bini’mati rabbika fa haddis). Wa Allahu a’lamu…(Email: kaubun.kua@gmail.com)

ISSN 1979-9373

Tidak ada komentar:

Posting Komentar