Kantor
Urusan Agama (KUA) adalah satuan unit terdepan dari birokrasi Kementerian Agama
yang berada di tingkat Kecamatan, yang sering disebut sebagai ujung tombak
Kementerian Agama yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat untuk
memberikan pelayanan dan pembinaan khususnya di bidang pernikahan, rujuk dan
juga di bidang kegamaan serta ibadah sosial lainnya. Sebagai implementasi dari
KMA Nomor 517 tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama, maka
KUA memiliki tugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama
dibidang urusan Agama Islam di wilayah Kecamatan tertentu.
Dalam
pelaksanaannya, keberadaan KUA tidak hanya melakukan pencatatan dan pernikahan,
tetapi juga melakukan pembinaan keagamaan di tingkat Kecamatan. Sesuai
Keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004 tentang pencatatan nikah,
dijelaskan pula bahwa banyak tugas yang harus dilakukan oleh KUA; antara lain
pembinaan kepenghuluan, keluarga sakinah, ibadah sosial, produk halal,
kemitraan, zakat, wakaf, ibadah haji dan kesejahteraan keluarga. Dengan
demikian, KUA juga banyak berperan dalam upaya peningkatan kualitas kehidupan
beragama di kalangan masyrakat.
Meski
sedemikian luas peran dan fungsi KUA, namun tak pelak di tengah-tengah
masyarakat seakan terbentuk stigma bahwa Kantor Urusan Agama (KUA) hanya
mengurusi persoalan pernikahan, talak dan rujuk. Stereotipe semakin berkembang,
akhirnya KUA dinilai hanya sebagai lembaga untuk melegalkan pernikahan maupun
perceraian tanpa tugas pembinaan keagamaan lainnya.
Permasalahan
bertambah pelik ketika oleh KPK, KUA disinyalir sebagai salah satu kantung
korupsi di bawah kementrian agama. Indeks perilaku korupsi yang ada di Kemenag
hanya berkisar pada 5,3 dibawah Kemenakertrans. Sebagai tambahan informasi, KPK
menyorot KUA sebagai lembaga yang telah lama melakukan gratifikasi. Hal ini
berujung pada ditahannya Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kota
Kediri, Romli, oleh Petugas Kejaksaan Negeri (Kejari) Kediri pada Oktober 2013
lalu.
Romli
dituduh menggelembungkan biaya nikah dengan memanfaatkan ketidaktahuan
masyarakat soal tarif resmi pencatatan nikah. Dia memungut biaya sebesar Rp
225.000 untuk pernikahan di luar kantor dan Rp 175.000 di dalam kantor.
Padahal, tarif sebenarnya hanya Rp 30.000.
Lebih jauh,
dari nominal tersebut Romli didakwa mendapatkan jatah Rp 50.000 sebagai petugas
pencatat nikah plus Rp 10.000 sebagai insentif kepala KUA. Romli diduga
menerima gratifikasi senilai Rp 36 juta atas biaya pencatatan nikah di luar
ketentuan yang ada dalam kurun waktu satu tahun pada 2012.
Kasus di
atas tentu tidak serta merta muncul, namun menggejala secara perlahan di
masyarakat dan terakumulasi dengan ketidakpahaman masyarkat terkait biaya
pernikahan. Nikah yang dicatatkan di KUA dianggap tidak sesuai dengan tarif
resminya dan apabila tarif yang diminta melebihi ketentuan resmi, dianggapnya
pegawai KUA menerima gratifikasi (korupsi). Pertanyaanya adalah, bagaimanakah
sebenarnya aturan pembiayaan pencataan pernikahan di KUA ini?. Serta berapa
besar biaya pernikahan di KUA yang mesti dikeluarkan?.
Artikel ini
hendak menjelaskan kepada publik tentang hal ikhwal biaya pernikahan, dengan
tujuan menjelaskan biaya pernikahan di KUA dan mengembalikan kepercayaan publik
kepada lembaga pernikahan yang lebih dikenal dengan istilah Kantor Urusan Agama
(KUA).
Pencatatan
Nikah di Masyarakat
Pada
dasarnya pencatatan nikah melalui KUA yang diinginkan oleh masyarakat dan
berlaku luas di masyarakat muslim Indonesia ada dua macam, yaitu pertama,
pencatatan nikah di Balai Nikah atau di KUA, pencatatan ini dilaksankan di KUA
atau Balai Nikah pada hari kerja dan pada jam kerja kantor. Pernikahan model
pertama ini dilaksanakan pada hari-hari yang bukan hari libur dan pada jam
kerja yaitu pukul 07.00 s.d. 15.30 atau 16.00 pada hari Jum’at. Pencatatan
nikah di kantor KUA ini tidak menimbulkan over beban kerja, maupun beban
transportasi bagi PPN.
Kedua,
pencatatan nikah di luar KUA. Dan, model kedua inilah yang sering berlaku di
tengah masyarakat yang mempunyai setumpuk kegiatan, terlebih kegiatan dalam
rangka persiapan pernikahan. Mereka disibukkan dengan seremoni dan setumpuk
agenda acara resepsi pernikahan sehingga tidak sempat melakukan pendaftaran
sendiri ke KUA, alih-alih melakukan penyetoran biaya nikah secara pribadi ke
bank yang ditunjuk.
Pada model
pencatatan nikah yang kedua inilah mulai timbul cost atau biaya tertentu atau
biaya tambahan dari jumlah 30 ribu menjadi 2 atau 3 kali lipat. Dan ternyata
sebagaian besar masyarakat memilih alternatif ke dua ini, yakni mengandalkan
jasa pegawai pencatan pernikahan (PPN). Hal ini ditambah lagi banyak pasangan
pengantin yang memilih melaksanakan pernikahan pada hari libur dan bahkan pada
malam hari, di luar jam kerja KUA. Sebagai perbandingan, bahwa pencatatan nikah
di Kantor dan di luar kantor mencapai kisaran 10 % nikah di KUA dan 90 % nikah
diluar KUA .
Solusi Biaya
Pernikahan
Terkait
fenomena pernikahan di luar kantor urusan agama (KUA) dan keluhan masyarakat
akan biaya pernikahan tersebut, Kemenag RI bertindak cepat, yakni dengan tujuan
menyelamatkan SDM di bawah KUA dan mengembalikan kepercayaan publik kepada
lemabaga KUA secara umum. Hal ini diterangkan melalui penyusunan draft biaya
baru pernikahan oleh Bahrul Hayat, “Draftnya sudah jadi, jika tidak ada
halangan mungkin satu atau dua bulan lagi sudah disahkan,” kata Sekjen Kemenag,
Bahrul Hayat di kantornya Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, lansir Hidayatullah.com
Kamis (30/01/2014).
Biaya
pencatatan nikah diproyeksikan dengan besaran yang sama untuk wilayah
Indonesia, yakni Kemenag menetapkan sebesar Rp 600 ribu per pernikahan. Tarif
pencatatan nikah ini akan dibedakan antara yang berlangsung di Kantor Urusan
Agama (KUA) dan di luar KUA. Hal ini dilakukan agar pegawai di KUA bersih dari
gratifikasi dan Kemenag tidak dicap korupsi. Bahrul menambahkan “Limapuluh ribu
untuk di KUA dan enamratus ribu rupiah di luar KUA. Ini dilakukan agar
masyarakat tidak bertanya-tanya lagi,”.
Terakhir,
terlepas dari peraturan baru tentang pembiayaan pernikahan di atas, mari kita
berfikir lebih adil dan arif, sebenarnya tidak ada permasalahan sedikitpun,
antara Calon pengantin sebagai masyarakat yang dilayani dengan Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) yang menjadi pelayan. PPN adalah PNS di Kemenag yang diberi tugas
melayani masyarakat dalam hal Pencatatan Nikah dan Rujuk, jam kerja PPN pun
telah ditentukan oleh Kemenag yaitu sebagaimana telah saya sebut di atas,
adapun diluar jam dinas, PPN adalah tenaga ahli dalam bidangnya seperti juga
misalnya para profesional yang lain, dokter, bidan, tenaga medis lainnya,
dosen, guru dll, mereka adalah juga para profesional yang jam kerjanya diatur
oleh peraturan peraturan juklak serta juknis.
Pada
dasarnya, masyarakat muslim di indonesia dan pegawai KUA adalah bagian integral
misi keislaman di dunia, artinya pegawai KUA dengan prinsip kerja mempermudah
(yassiru wala tu’assiru) semestinya diimbangi dengan pemahaman masyarakat
pengguna jasa mereka, yakni dengan berterimakasih atas bantuan mereka,
disamping karena nikmat pernikahan yang akan segera mereka rasakan (fa’amma
bini’mati rabbika fa haddis). Wa Allahu a’lamu…(Email: kaubun.kua@gmail.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar