Minggu, 22 Juni 2014

Antara Adat, Tradisi dan Amal Ibadah di Bulan Sya'ban


Artikel dimuat di koran Radar Sangatta Kolom 'Catatan', Sabtu 21 Juni 2014 
 
 Antara Adat, Tradisi dan Amal Ibadah di Sya'ban
Saat ini kaum muslimin berada diujung akhir dari bulan sya’ban 1435 H. Bulan sya’ban adalah bulan yang sangat dimuliyakan oleh seluruh umat Islam bahkan oleh Rasul dan Allah SWT.  Rangkaian kemuliyaan bulan sya’ban ini ibarat sebuah trilogi yang berkesinambungan, yakni dimulai dengan bulan Rajab di mana di dalamnya terdapat peristiwa Isra’ mi’raj, kemudian bulan Sya’ban di dalamnya berTaburan kebajikan dan bulan Ramadhan, bulan di dalamnya diturunkan Al-Qur’an. Tidak mengherankan jika kemudian para ulama’ salaf selalu bermunajat agar diberkahi amalan di bulan Rajab dan Sya’ban serta dipanjang usia hingga bertemu dengan bulan Ramadhan. Mereka senantiasa melantunkan do’a Allahumma bariklana fi rajab wa sya’ban wa ballighna ramdahan. Hal ini diperkuat lagi dengan sebuah hadis populer tentang bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan. Diterangkan bahwa Rajab adalah bulannya Nabi Muhammad SAW, Sya’ban adalah bulannya Allah dan Ramadhan adalah bulannya umat Islam (HR. Muslim).
Namun menjadi persolan ketika bulan sya’ban ini disandingkan dengan bulan setelahnya yakni bulan Ramadhan. Seakan-akan bulan sya’ban tergerus dengan kemuliyaan dari bulan Ramadhan. Pada hal setiap bulan di sisi Allah memiliki nilai muliya sendiri-sendiri. Karena saking muliyanya bulan Ramadhan, hingga kaum muslimin lumrahnya melupakan kemuliyaan yang ada pada bulan sya’ban. Tidak mengherankan jika kata Rasul “bulan Sya’ban  adalah bulan di antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan, bulan ini bulan yang dilupakan manusia.. (HR. An-Nasa’i)
Disamping bulan sya’ban adalah bulan yang terlupakan,  bulan sya’ban oleh sebagian umat dijadikan bulan ritual untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Di sana-sini banyak tradisi umat yang mengarah kepada hal-hal yang belum tentu sesuai dengan syariat Islam. Coba kita lihat, misalnya hampir merata di seluruh wilayah tanah air, beberapa hari menjelang berakhirnya bulan Sya’ban, umat Islam di Indonesia ramai-ramai pergi berziarah kubur, kenduri, doa selamat, bersalaman dan bermaafan, bahkan ada yang melakukan “padusan” atau mandi besar yang dilakukan di sungai, danau ataupun di pantai. Pertanyaannya adalah bagaimanakah sebenarnya makna bulan sya’ban ini dan amalan apa yang sesuai dengan syariat Islam?. Hingga akhirnya umat Islam di Indonesia mampu memaknai bulan sya’ban sebagai bulan persiapan menuju bulan Ramadhan, bulan seribu bulan?.
Sya’ban Bulan Persiapan
Sebagai bulan pembuka terhadap bulan Ramadhan, sya’ban memiliki nilai penting bagi sukses ataupun tidaknya seorang muslim dalam menghadapi bulan Ramadhan. Di dalam lisanul Arab diterangkan asal kata makna sya’ban adalah ‘sya’aban’ yang berasal dari kata syi’ab, yang mempunyai makana  jalan setapak menuju puncak. Artinya bulan sya’ban adalah bulan persiapan yang disediakan oleh Allah swt kepada hambanya untuk menapaki dan menjelajahi keimanannya sebagai persiapan menghadapi puncak ‘bulan Ramadhan’. Di antara persiapan yang bisa dilakukan oleh umat Islam adalah persiapan material dan inmaterial. Namun yang paling utama tentunya persiapan inmaterial, yakni menyiapkan mental seorang muslim agar seketika Ramadhan datang umat Islam telah siap menyambutkannya dan mengoptimalkan semua fadhilah (keutamaan) yang dimiliki oleh Ramadahan.
Tentu tanpa persiapan yang matang, seseorang akan mengalami hambatan, batu sandungan sampai-sampai “gagal” dalam menghadapi bulan Ramadhan tersebut. Seorang penulis Jerman, Alvin Toffler mengungkapkan bahwa masyarakat yang tidak siap terhadap datangnya sebuah hal baru akan terjangkiti oleh kondisi psikis yang berupa kebingungan, frustasi dan disorientasi hidup. Hal ini disebutnya dengan istilah culture shock, untuk menggambarkan ketidaksanggupan menghadapi hal baru yang datang. Disisi Lain, umat Islam di Indonesia tidak berhadap hal tersebut terjadi, namun ketika kaca mata pandang ini digunakan, justru banyak umat yang bergiat dalam persiapan-persiapan menyambut bulan Ramadhan secara berlebihan. Tradisi-tradisi yang belum tentu sesuai syariat Islam di sana-sini di amalkan.
Subtansi Adat, Tradisi dan Amal Ibadah di Bulan Sya’ban
Sebagai perwujudan suka cita dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, umat Islam di Indonesia mengisinya dengan berbagai kegiatan,  baik berupa kegiatan keagamaan maupun kegiatan sosial seperti ziarah kubur, kenduri, doa selamat, bersalaman dan bermaafan, dan lain hal, yang semuanya itu adalah ungkapan kegembiraan dalam menyambut bulan Ramadhan. Sayangnya, masih banyak umat Islam di tanah air yang salah persepsi dan salah aksi dalam menyambut kedatangan bulan suci ini. Sebagian besar melakukan tradisi-tradisi tersebut atas dasar warisan budaya orang-orang tua terdahulu, sebagian lainnya melakukannya atas dasar ikut-ikutan biar ramai atau gaul, sebagian lain untuk melampiaskan nafsu syahwat, dan bahkan ada juga yang memanfaatkannya untuk meraup keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Menurut anggapan ini, amal shalih di bulan Ramadhan kurang afdhal kalau tidak diawali dengan melakukan tradisi-tradisi tersebut.
Sebenarnya, syariat Islam telah memiliki jalan keluar bagi umatnya untuk mempersiapkan diri menjelang datangnya bulan Ramadhan. Persiapan-persiapan ini terformat dan termuat dalam ketentuan-ketentuan amalan yang “sunnah” dilakukan di bulan sya’ban. Sunnah sendiri memiliki dua arti, yakni pertama, sunnah karena amalan tersebut telah pernah dilakukan oleh Rasul Muhammad SAW selama hidupnya dalam mengisi bulan sya’ban, kedua sunnah dengan makna amalan yang baik yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan sesuai dengan tuntunan dan ketentuan agama.
Pertama, amalan berupa sunnah Nabi. Di dalam bulan sya’ban banyak hadis yang telah menerangkan tentang amalan-amalan yang pernah dilakukan oleh Rasul Muhammad SAW, di antaranya adalah memperbanyak puasa sunnah. Dikatakan dalam sebuah hadis “bulan sya’ban adalah bulan yang diangkat padanya amal ibadah kepada Tuhan Seru Sekalian Alam, maka aku suka supaya amal ibadah ku di angkat ketika aku berpuasa”. ( HR. an-Nasa’i). Juga dalam redaksi hadis lain menerangkan Barang siapa berpuasa tiga hari di awal bulan Sya’ban, tiga hari di pertengahannya dan tiga hari di akhirnya. Maka niscaya Allah tulis untuk orang itu pahala tujuh puluh orang nabi, dan seperti ibadah tujuh puluh tahun, dan jiakalau orang itu meninggal pada tahun ini akan diberikan predikat mati syahid”.
Kedua, amalan sunnah yang baik. Arti sunnah di sini adalah suatu kebiasaan yang baik yang dapat dibenarkan untuk dilakukan karena tidak bertentangan dengan syari’at Islam, meskipun belum pernah dilakukan Nabi. Hal ini berdasar kepada sebuah redaksi hadis “man sanna sunatan hasanatan falahu ajrun wa ajru man ‘amila biha”, yang artinya: barang siapa yang melakukan tradisi baik, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya. Pada kasus ini amalan-amalan yang dilakukan umat Islam Indonesia baik berupa ziarah kubur, bermaaf-maafan, amal malam nisfu sya’ban, do’a bersama untuk arwah (megengan) maupun yang lainnya,  menurut penulis, amalan tersebut dapat diterima dan mubah (boleh) dilakukan, dengan ketentuan amalan tersebut bukan karena sekedar ikut-ikutan tradisi leluhur, tetapi dilakukan karena mempunyai landasan ilmu dan pengetahuan yang kuat bahwa tradisi tersebut bukan kewajiban, yang apabila tidak dilakukan maka mendapatkan dosa.  Hal inilah yang dimaksudkan oleh kaidah fiqh al-umuru bimaqasidiha (segala sesuatu kembali ke maksud dan tujuannya).  Wa’allahu a’lamu...
*Rusdian Noor Saat ini menjabat sebagai Kepala KUA Sangatta Selatan Kab Kutai Timur. Semasa menjabat kepala KUA Kaubun mengantarkan KUA Kabubun sebagai KUA Teladan tingkat Kab Kutai Timur 2014. Dan memperoleh Juara I tingkat penulisan Ilmiah se Kutai Timur golongan kepala/Pegawai KUA se Kab Kutai Timur 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar