Artikel dimuat di koran Radar Sangatta Kolom 'Catatan', Sabtu 21 Juni 2014
Antara Adat, Tradisi dan Amal Ibadah di Sya'ban
Saat
ini kaum muslimin berada diujung akhir dari bulan sya’ban 1435 H. Bulan sya’ban
adalah bulan yang sangat dimuliyakan oleh seluruh umat Islam bahkan oleh Rasul
dan Allah SWT. Rangkaian kemuliyaan
bulan sya’ban ini ibarat sebuah trilogi yang berkesinambungan, yakni dimulai
dengan bulan Rajab di mana di dalamnya terdapat peristiwa Isra’ mi’raj,
kemudian bulan Sya’ban di dalamnya berTaburan kebajikan dan bulan Ramadhan,
bulan di dalamnya diturunkan Al-Qur’an. Tidak mengherankan jika kemudian para
ulama’ salaf selalu bermunajat agar diberkahi amalan di bulan Rajab dan Sya’ban
serta dipanjang usia hingga bertemu dengan bulan Ramadhan. Mereka senantiasa
melantunkan do’a Allahumma bariklana fi rajab wa sya’ban wa ballighna
ramdahan. Hal ini diperkuat lagi dengan sebuah hadis populer tentang bulan
Rajab, Sya’ban dan Ramadhan. Diterangkan bahwa Rajab adalah bulannya Nabi
Muhammad SAW, Sya’ban adalah bulannya Allah dan Ramadhan adalah bulannya umat
Islam (HR. Muslim).
Namun
menjadi persolan ketika bulan sya’ban ini disandingkan dengan bulan setelahnya
yakni bulan Ramadhan. Seakan-akan bulan sya’ban tergerus dengan kemuliyaan dari
bulan Ramadhan. Pada hal setiap bulan di sisi Allah memiliki nilai muliya
sendiri-sendiri. Karena saking muliyanya bulan Ramadhan, hingga kaum muslimin
lumrahnya melupakan kemuliyaan yang ada pada bulan sya’ban. Tidak mengherankan
jika kata Rasul “bulan Sya’ban adalah
bulan di antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan, bulan ini bulan yang
dilupakan manusia.. (HR. An-Nasa’i)
Disamping
bulan sya’ban adalah bulan yang terlupakan,
bulan sya’ban oleh sebagian umat dijadikan bulan ritual untuk menyambut
datangnya bulan Ramadhan. Di sana-sini banyak tradisi umat yang mengarah kepada
hal-hal yang belum tentu sesuai dengan syariat Islam. Coba kita lihat, misalnya
hampir merata di seluruh wilayah tanah air, beberapa hari menjelang berakhirnya
bulan Sya’ban, umat Islam di Indonesia ramai-ramai pergi berziarah kubur,
kenduri, doa selamat, bersalaman dan bermaafan, bahkan ada yang melakukan
“padusan” atau mandi besar yang dilakukan di sungai, danau ataupun di pantai. Pertanyaannya
adalah bagaimanakah sebenarnya makna bulan sya’ban ini dan amalan apa yang
sesuai dengan syariat Islam?. Hingga akhirnya umat Islam di Indonesia mampu
memaknai bulan sya’ban sebagai bulan persiapan menuju bulan Ramadhan, bulan
seribu bulan?.
Sya’ban
Bulan Persiapan
Sebagai
bulan pembuka terhadap bulan Ramadhan, sya’ban memiliki nilai penting bagi
sukses ataupun tidaknya seorang muslim dalam menghadapi bulan Ramadhan. Di dalam
lisanul Arab diterangkan asal kata makna sya’ban adalah ‘sya’aban’ yang
berasal dari kata syi’ab, yang mempunyai makana jalan setapak menuju puncak. Artinya bulan
sya’ban adalah bulan persiapan yang disediakan oleh Allah swt kepada hambanya
untuk menapaki dan menjelajahi keimanannya sebagai persiapan menghadapi puncak
‘bulan Ramadhan’. Di antara persiapan yang bisa dilakukan oleh umat Islam
adalah persiapan material dan inmaterial. Namun yang paling utama tentunya
persiapan inmaterial, yakni menyiapkan mental seorang muslim agar seketika
Ramadhan datang umat Islam telah siap menyambutkannya dan mengoptimalkan semua
fadhilah (keutamaan) yang dimiliki oleh Ramadahan.
Tentu
tanpa persiapan yang matang, seseorang akan mengalami hambatan, batu sandungan
sampai-sampai “gagal” dalam menghadapi bulan Ramadhan tersebut. Seorang penulis
Jerman, Alvin Toffler mengungkapkan bahwa masyarakat yang tidak siap terhadap
datangnya sebuah hal baru akan terjangkiti oleh kondisi psikis yang berupa
kebingungan, frustasi dan disorientasi hidup. Hal ini disebutnya dengan istilah
culture shock, untuk menggambarkan ketidaksanggupan menghadapi hal baru
yang datang. Disisi Lain, umat Islam di Indonesia tidak berhadap hal tersebut
terjadi, namun ketika kaca mata pandang ini digunakan, justru banyak umat yang
bergiat dalam persiapan-persiapan menyambut bulan Ramadhan secara berlebihan.
Tradisi-tradisi yang belum tentu sesuai syariat Islam di sana-sini di amalkan.
Subtansi
Adat, Tradisi dan Amal Ibadah di Bulan Sya’ban
Sebagai
perwujudan suka cita dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, umat Islam di
Indonesia mengisinya dengan berbagai kegiatan,
baik berupa kegiatan keagamaan maupun kegiatan sosial seperti ziarah
kubur, kenduri, doa selamat, bersalaman dan bermaafan, dan lain hal, yang
semuanya itu adalah ungkapan kegembiraan dalam menyambut bulan Ramadhan.
Sayangnya, masih banyak umat Islam di tanah air yang salah persepsi dan salah
aksi dalam menyambut kedatangan bulan suci ini. Sebagian besar melakukan
tradisi-tradisi tersebut atas dasar warisan budaya orang-orang tua terdahulu,
sebagian lainnya melakukannya atas dasar ikut-ikutan biar ramai atau gaul,
sebagian lain untuk melampiaskan nafsu syahwat, dan bahkan ada juga yang
memanfaatkannya untuk meraup keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Menurut
anggapan ini, amal shalih di bulan Ramadhan kurang afdhal kalau tidak diawali
dengan melakukan tradisi-tradisi tersebut.
Sebenarnya,
syariat Islam telah memiliki jalan keluar bagi umatnya untuk mempersiapkan diri
menjelang datangnya bulan Ramadhan. Persiapan-persiapan ini terformat dan
termuat dalam ketentuan-ketentuan amalan yang “sunnah” dilakukan di bulan
sya’ban. Sunnah sendiri memiliki dua arti, yakni pertama, sunnah karena amalan
tersebut telah pernah dilakukan oleh Rasul Muhammad SAW selama hidupnya dalam
mengisi bulan sya’ban, kedua sunnah dengan makna amalan yang baik yang
tidak bertentangan dengan syariat Islam dan sesuai dengan tuntunan dan
ketentuan agama.
Pertama, amalan
berupa sunnah Nabi. Di dalam bulan sya’ban banyak hadis yang telah menerangkan
tentang amalan-amalan yang pernah dilakukan oleh Rasul Muhammad SAW, di
antaranya adalah memperbanyak puasa sunnah. Dikatakan dalam sebuah hadis “bulan
sya’ban adalah bulan yang
diangkat padanya amal ibadah kepada Tuhan Seru Sekalian Alam, maka aku suka
supaya amal ibadah ku di angkat ketika aku berpuasa”. ( HR. an-Nasa’i). Juga dalam redaksi
hadis lain menerangkan “Barang
siapa berpuasa tiga hari di awal bulan Sya’ban, tiga hari di pertengahannya dan
tiga hari di akhirnya. Maka niscaya Allah tulis untuk orang itu pahala tujuh
puluh orang nabi, dan seperti ibadah tujuh puluh tahun, dan jiakalau orang itu
meninggal pada tahun ini akan diberikan predikat mati syahid”.
Kedua,
amalan sunnah yang baik. Arti sunnah di sini adalah suatu kebiasaan yang baik
yang dapat dibenarkan untuk dilakukan karena tidak bertentangan dengan syari’at
Islam, meskipun belum pernah dilakukan Nabi. Hal ini berdasar kepada sebuah
redaksi hadis “man sanna sunatan hasanatan falahu ajrun wa ajru man ‘amila
biha”, yang artinya: barang siapa yang melakukan tradisi baik, maka ia
mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya. Pada kasus ini
amalan-amalan yang dilakukan umat Islam Indonesia baik berupa ziarah kubur,
bermaaf-maafan, amal malam nisfu sya’ban, do’a bersama untuk arwah (megengan)
maupun yang lainnya, menurut penulis,
amalan tersebut dapat diterima dan mubah (boleh) dilakukan, dengan
ketentuan amalan tersebut bukan karena sekedar ikut-ikutan tradisi leluhur, tetapi
dilakukan karena mempunyai landasan ilmu dan pengetahuan yang kuat bahwa
tradisi tersebut bukan kewajiban, yang apabila tidak dilakukan maka mendapatkan
dosa. Hal inilah yang dimaksudkan oleh
kaidah fiqh al-umuru bimaqasidiha (segala sesuatu kembali ke maksud dan
tujuannya). Wa’allahu a’lamu...
*Rusdian Noor Saat ini menjabat sebagai Kepala
KUA Sangatta Selatan Kab Kutai Timur. Semasa menjabat kepala KUA Kaubun
mengantarkan KUA Kabubun sebagai KUA Teladan tingkat Kab Kutai Timur 2014. Dan
memperoleh Juara I tingkat penulisan Ilmiah se Kutai Timur golongan
kepala/Pegawai KUA se Kab Kutai Timur 2014.